Di kamar, terdengar suara ketikan dari laptop Mala. Saya mengetuk pintu pelan-pelan, takut ia terlalu lelah. Namun, seperti biasa, ia menolak berhenti. Katanya, hanya satu artikel lagi yang harus ia selesaikan. Saya tahu, itu hanya alasan.  

Waktu berlalu begitu cepat, matahari telah berada tepat di atas kepala. Mala masih sibuk dengan tulisannya, sementara saya mengalihkan perhatian pada buku gambar milik saya. Buku itu adalah hadiah natal dari Mala tahun lalu, benda istimewa yang sering saya gunakan untuk menggambar corak batik dan menulis puisi.  

Di dalamnya, saya mencurahkan mimpi-mimpi saya bersama Mala. Sejak awal pernikahan, saya bermimpi memiliki butik batik kecil bersamanya. Dalam khayalan saya, Galih, yang sudah sedikit besar, berlarian di butik itu, tertawa riang. Kami hidup bahagia, butik itu penuh dengan keindahan, dikelilingi batik-batik berwarna cerah, penuh cerita dan budaya.  

Namun, pagi yang damai ini menyimpan kekhawatiran. Hidup di tengah ketidakpastian, saya hanya bisa berdoa bahwa mimpi itu akan tetap hidup, meski dunia di luar penuh gejolak.