DOR–DOR–DOR!

Suara gebrakan pintu memecah keheningan malam, membuat Galih terlonjak kaget dari tidurnya di sofa.  

“Woy! Apaan tuh? Maling ya?!” serunya, setengah sadar.  

“Permisi... makanan atas nama Galih,” terdengar suara dari luar.  

“Oh iya, gue yang pesen makan,” jawab Galih sambil buru-buru menuju pintu.  

Saat pintu terbuka, seorang pengantar makanan dengan seragamnya berdiri di sana, membawa kantong plastik berisi pesanan.  

“Atas nama Mas Galih ya? Ngapain sih, Mas, pesan mi pedas tengah malam begini?” tanya pengantar makanan sambil menyerahkan kantong itu.  

“Laper, lah, Bang,” jawab Galih santai sambil mengeluarkan uang. “Nih, ambil aja kembaliannya.”  

Setelah menerima makanannya, Galih menutup pintu dan langsung menuju dapur kecilnya. Dia menumpahkan mie pedas itu ke mangkuk besar sambil tersenyum tipis. Bukan karena makanannya, tapi karena pikirannya melayang pada mimpi ayahnya: membangun sebuah toko batik.  

“Mimpi itu memang sederhana,” gumamnya sambil mengambil garpu. “Tapi indah banget dan penuh makna.”  

Namun, senyumnya langsung berubah menjadi ekspresi kaget ketika suapan pertama masuk ke mulutnya.  

“Alah sia boy! Ini pedes pisan!” rintihnya sambil mengibas-ngibaskan tangan, seolah bisa mengurangi rasa pedas yang membakar lidahnya.  

Dia tertawa kecil di sela rasa pedas yang masih menyengat. “Orang lagi enak-enak mellow mikirin Ayah, malah diganggu sama mie.”